KEADAAN POLITIK INDONESIA PADA AWAL KEMERDEKAAN
SEJARAH XII GANJIL
Puji syukur kita
ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat taufik dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “Keadaan Politik Indonesia pada Awal
Kemerdekaan”. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada guru bidang studi
Sejarah Indonesia yaitu Bapak Syafrizalman, M.Pd. dan kepada semua pihak yang
telah berpatisipasi baik moril maupun materil dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ini
dibuat untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia dan sebagai kajian
terhadap pemahaman pembaca mengenai Keadaan Politik Indonesia pada Awal
Kemerdekaan, dengan memaparkan materi antara lain : kronologi kedatangan
tentara sekutu dan NICA, berbagai konflik antara Indonesia-Belanda di berbagai
daerah, dan perjuangan diplomasi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia.
Penulis
menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan masukan dan kritikan dari semua pihak terkait dengan
relevasi makalah ini agar bisa menjadi lebih baik di masa yang akan
datang.
Tanjungbatu,
Agustus 2019
Penulis,
Kelompok III
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR................................................................................................
i
DAFTAR ISI..............................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah.....................................................................................
1
1.2 Rumusan
Masalah..............................................................................................
1
1.3 Tujuan.................................................................................................................
1
1.4 Manfaat...............................................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kedatangan tentara sekutu dan NICA.............................................................
3
2.2 Konflik Indonesia Belanda di
Berbagai Daerah................................................
4
2.3 Perjuangan Diplomasi Indonesia ...................................................................... 8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................
18
3.2 Saran.................................................................................................................
18
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setelah proklamasi, Indonesia masih
belum sepenuhnya dikatakan merdeka. Karena Indonesia harus berbenah diri mulai
dari pemerintahan hingga di daerah-daerah. Hari-hari setelah proklamasi,
pemerintahanpun mulai dibangun. Presiden dan wakil presiden diangkat, UUD
ditetapkan, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk untuk membantu
presiden sembari menunggu pelaksanaan pemilu, struktur pemerintahan dan
struktur militer mulai disusun dan ditetapkan.
Sementara itu, kehidupan di luar
pemerintahan tidak seluruhnya menggembirakan. Banyak raja-raja di luar Jawa
yang memilih status quo bersama Belanda dan tidak mendukung proklamasi. Konflik
sosial di pedesaan antar kelompok juga sering terjadi.
Ditambah lagi, pemerintah Republik
Indonesia yang baru berdiri dihadapkan dengan tantangan kedatangan tentara
sekutu yang diboncengi Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia. Namun,
bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya. Oleh karena itu,
terjadi konflik antar Indonesia dan Belanda. Adapun konflik tersebut banyak
terjadi di berbagai daerah dan itu semua
untuk mempertahankan Indonesia, kemudian setelah itu harus melewati
berbagai perundingan perundingan dalam memperjuangkan diplomasi Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, dapat dirumuskan prmasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana kronologi kedatangan tentara
sekutu dan NICA?
2.
Bagaimana dan dimana saja konflik
antara Indonesia dan Belanda?
3.
Bagaimana perjuangan diplomasi yang
dilakukan oleh bangsa Indonesia?
1.3 Tujuan
Berdasarkan
permasalahan diatas, tujuan yang dapat dicapai adalah sebagai berikut:
1.
Mendeskripsikan kronologi datangnya
tentara sekutu dan NICA.
2.
Mendeskripsikan konflik antara
Indonesia dan Belanda diberbagai daerah.
3.
Mendeskripsikan perjuangan diplomasi
yang dilakukan oleh bangsa Indonesia.
1.4 Manfaat
Berdasarkan
tujuan diatas, dapat diambil manfaat sebagai berikut:
1.
Bagi siswa, makalah ini dapat dijadikan
untuk pembelajaran untuk mengetahui tentang keadaan politik Indonesia pada awal
kemerdekaan.
2.
Bagi guru, makalah ini dapat digunakan
sebagai bahan ajar tambahan dalam proses belajar mengajar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Kedatangan
Tentara Sekutu dan NICA
Setelah Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14
Agustus 1945, sekutu kemudian memerintahkan Jepang untuk melaksanakan status
quo, yaitu menjaga situasi dan kondisi sebagaimana adanya pada saat itu sampai
kedatangan tentara sekutu ke Indonesia. Sekutu merupakan berbagai perkumpulan
negara yang menentang politik fasisme yang dilakukan oleh Blok
Axis/Fasis/Sentral pada Perang
Dunia II. Perang berakhir dengan kemenangan blok Sekutu terhadap blok Fasis.
Pihak
sekutu memutuskan bahwa pasukan – pasukan Amerika Serikat akan memusatkan
perhatian pada pulau – pulau di Jepang, sedangkan tanggung jawab terhadap
Indonesia dipindahkan dari SWPC (South West Pasific Command) dibawah komando
Amerika Serikat kepada SEAC (South East Asia Command) di bawah komando Inggris
yang dipimpin Laksamana Lord Louis Mountbatten. Sebelum kedatangan tentara
sekutu ke Indonesia, pada tanggal 8 September Laksamana L. L. Mountbatten
mengutus tujuh perwira Inggris di bawah pimpinan Mayor A. G. Greenhalgh ke
Indonesia. Tugasnya adalah mempelajari serta melaporkan keadaan di Indonesia
menjelang pendaratan pasukan sekutu.
Pada
tanggal 16 September 1945 rombongan perwakilan sekutu berlabuh di Tanjung
Priok. Rombongan ini dipimpin oleh Laksamana Muda W. R. Patterson. Dalam
rombongan ini ikut pula C. H. O. Van der Plas yang mewakili pimpinan NICA yaitu
Dr. H. J. Van Mook. Setelah itu pada tanggal 29 September 1945 tibalah pasukan
SEAC di Tanjung Priok, Jakarta di bawah pimpinan Letjend Sir Philip Chistison.
Pasukan ini bernaung di bawah bendera AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies).
Pasukan
AFNEI di pusatkan di Barat Indonesia terutama wilayah Sumatera dan Jawa,
sedangkan daerah Indonesia lainnya, terutama wilayah Timur diserahkan kepada
angkatan perang Australia. AFNEI diserahi beberapa tugas menerima penyerahan
kekuasaan dari tangan Indonesia.
Kedatangan
sekutu ke Indonesia semula mendapatkan sambutan hangat dari rakyat Indonesia,
seperti kedatangan Jepang dulu. Akan tetapi setelah diketahui mereka datang
disertai orang-orang NICA (Netherlands Indies Civil Administration), sikap rakyat
Indonesia berubah menjadi penuh kecurigaan dan bahkan akhirnya bermusuhan.
Bangsa Indonesia mengetahui bahwa NICA berniat menegakkan kembali kekuasaannya.
Situasi berubah memburuk tatkala NICA mempersenjatai kembali bekas anggota KNIL
(Koninklijk
Nederlands Indies Leger). Satuan – satuan KNIL yang telah
dibebaskan Jepang kemudian bergabung dengan tentara NICA. Diberbagai daerah,
NICA dan KNIL yang didukung Inggris/Sekutu melancarkan provokasi dan melakukan
teror terhadap para pemimpin nasional.
Untuk
meredakan ketegangan tersebut, pada tanggal 1 Oktober 1945 panglima AFNEI
menyatakan pemberlakuan pemerintahan Republik Indonesia yang ada di daerah –
daerah sebagai kekuasaan de facto. Kerena pernyataan tersebut pemerintah RI
menerima pasukan AFNEI dengan tangan terbuka, bahkan pemerintah RI
memerintahkan pejabat daerah untuk membantu tugas – tugas AFNEI.
Pada
kenyataannya kedatangan pihak sekutu selalu menimbulkan insiden di beberapa
daerah. Tentara sekutu sering menunjukkan sikap tidak menghormati kedaulatan
bangsa Indonesia. Lebih dari itu, tampak jelas bahwa NICA ingin mengambil alih
kembali kekuasaan di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa AFNEI telah menyimpang
dari misi awalnya. Kenyataan tersebut memicu pertempuran di beberapa daerah,
seperti Surabaya, Bandung, Medan, Ambarawa,
Manado, dan Bali.
2.1 Konflik Indonesia-Belanda di Berbagai Daerah
a. Pertempuran di Surabaya
Pertempuran Surabaya merupakan pertempuran tentara dan milisi prokemerdekaan Indonesia
dan tentara Britania Raya dan India Britania. Puncaknya terjadi
pada tanggal 10 November 1945. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan
Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia dan satu
pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi
Nasional Indonesia yang
menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Usai pertempuran ini, dukungan rakyat Indonesia dan dunia internasional
terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia semakin kuat. 10 November diperingati
setiap tahun sebagai Hari Pahlawan di Indonesia.
Ketika pasukan
Sekutu mendarat pada akhir
Oktober 1945, Surabaya digambarkan sebagai "benteng bersatu yang kuat [di
bawah Pemuda]".Pertempuran pecah pada 30 Oktober setelah komandan pasukan
Britania, Brigadir A.W.S.Mallaby tewas dalam baku tembak. Britania melakukan
serangan balasan punitif pada 10 November dengan bantuan pesawat tempur.
Pasukan kolonial merebut sebagian besar kota dalam tiga hari, pasukan Republik
yang minim senjata melawan selama tiga minggu, dan ribuan orang meninggal dunia
ketika penduduk kota mengungsi ke pedesaan.
Meskipun kalah dan kehilangan anggota dan
persenjataan, pertempuran yang dilancarkan pasukan Republik membangkitkan
semangat bangsa Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaannya dan menarik
perhatian internasional. Belanda tidak lagi memandang Republik sebagai kumpulan
pengacau tanpa dukungan rakyat. Pertempuran ini juga meyakinkan Britania untuk
mengambil sikap netral dalam revolusi nasional Indonesia; beberapa tahun
kemudian, Britania mendukung perjuangan Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
b. Pertempuran
Ambarawa-Magelang
Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu
di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di Semarang dengan maksud mengurus
tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu
ini diboncengi oleh NICA.
Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tengah Mr.Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi
kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak akan mengganggu
kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai
di Ambarawa dan
Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, para tawanan tersebut
malah dipersenjatai sehingga menimbulkan kemarahan pihak Indonesia. Insiden
bersenjata timbul di kota Magelang,
hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai
penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan
Rakyat dan membuat kekacauan.
TKR Resimen Magelang pimpinan Letkol. M. Sarbini membalas
tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun
mereka selamat dari kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang
berhasil menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam
meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut,
Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letkol. M. Sarbini segera mengadakan
pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa
Jambu karena dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang
diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon
I Soerjosoempeno di Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara
Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di
bawah pimpinan Letkol. Isdiman berusaha
membebaskan kedua desa tersebut, tetapi ia gugur terlebih dahulu. Sejak
gugurnya Letkol. Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Kol. Soedirman merasa
kehilangan seorang perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke lapangan untuk
memimpin pertempuran. Kehadiran Kol. Soedirman memberikan napas baru kepada
pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan di antara komando-komando sektor dan
pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah
serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan terus mengalir
dari Yogyakarta, Solo,
Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang,
dan lain-lain.
Tanggal 23 November 1945 ketika
matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan pasukan Sekutu yang
bertahan di kompleks gereja dan kerkhop Belanda di Jl. Margo Agoeng. Pasukan
Indonesia terdiri dari Yon. Imam
Adrongi, Yon. Soeharto dan
Yon. Soegeng. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang
dengan diperkuat tanknya, menyusup ke tempat kedudukan Indonesia dari arah
belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono.
c. Bandung
Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan
Api adalah peristiwa kebakaran besar
yang terjadi di kota Bandung,
provinsi Jawa Barat, Indonesiapada 23 Maret 1946. Dalam waktu
tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar rumah mereka, meninggalkan
kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung.Hal
ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICABelanda untuk
dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang
Kemerdekaan Indonesia.
Pasukan Inggris bagian
dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Sejak semula
hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut agar semua
senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR, diserahkan kepada mereka.
Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan
tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan
bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari. Malam tanggal 21 November 1945,
TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap
kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald
menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara
dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara
Republik Indonesia (TRI,
sebutan bagi TNI pada
saat itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi
"bumihangus". Para pejuang pihak Republik
Indonesia tidak rela bila Kota
Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk
membumihanguskan Bandung diambil
melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan
pihak Republik Indonesia, pada tanggal 23 Maret 1946. Kolonel Abdoel Haris
Nasoetion selaku Komandan Divisi
III TRI mengumumkan
hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung.Hari itu
juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota
Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat
setempat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai
markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di
udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga
pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang
amunisi besar milik Tentara
Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia)
terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha
berhasil meledakkan gudang tersebut dengan dinamit.
Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di
dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di
dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut
dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih
pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api
masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan
strategi yang tepat dalam Perang
Kemerdekaan Indonesia karena
kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan pihak Sekutu dan
NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama milisi
rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini
mengilhami lagu Halo, Halo
Bandung yang nama
penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo
Bandung" secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para
pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali
ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.
2.3 Perjuangan Diplomasi Indonesia
a. Perjanjian
Linggajati ( 10 November 1946 )
Perjanjian Linggajatiadalah suatu perundingan antaraIndonesiadan Belanda di Linggajati,
sebelah selatan Cirebon menghasilkan
persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini
ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan
ditandatangani secara sah oleh kedua negara pada 25 Maret 1947.
Masuknya AFNEI yang
diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo' di Indonesia menyebabkan terjadinya
konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya peristiwa 10
November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk
menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia. Oleh sebab itu, Sir
Archibald Clark Kerr, Diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda untuk
berunding di Hooge Veluwe, tetapi perundingan tersebut gagal karena Indonesia
meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan Pulau Madura,
tetapi Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.
Pada akhir Agustus 1946,
pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk
menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7
Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka
perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan
ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 Oktober)
dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai
tanggal 11 November 1946.
Dalam perundingan ini Indonesia
diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi
Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook,dan
Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.
Hasil perundingan Perjanjian
Linggajati yaitu sebagai berikut:
4.
Dalam bentuk RIS
Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth/Persemakmuran
Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.
Perjanjian Linggarjati
menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya
beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai
Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti
lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara
Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan
Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite
Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan
linggarjati.
Pelaksanaan hasil
perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi
dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947,
meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan
akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda
b. Agresi
Militer Belanda I dan Perjanjian Renvile
Agresi terbuka Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 menimbulkan reaksi yang
hebat dan dunia. Pada tanggal 30 Juli 1947 pemerintah India dan Australia
mengajukan permintaan resmi agar masalah Indonesia segera dimasukkan dalam
daftar acara Dewan Keamanan PBB. Permintaan itu diterima baik dan tanggal 3
Juli 1947 dimasukkan sebagai acara pembicaraan Dewan Keamanan. Tanggal 1
Agustus 1947 Dewan Keamanan memerintahkan penghentian permusuhan kedua belah
pihak, yang mulai berlaku tanggal 4 Agustus 1947. Sementara itu, untuk
mengawasi pelaksanaan gencatan senjata dibentuk Komisi Konsuler, yang
anggota-anggotanya terdiri dan para konsul jenderal yang ada di Indonesia.
Komisi konsuler diketuai oleh Konsul Jenderal Amerika Serikat Dr. Walter Foote
dengan anggota Konsul Jenderal Cina, Konsul Jenderal Belgia, Konsul Jenderal
Prancis, Konsul Jenderal Inggris, dan Konsul Jenderal Australia.
Komisi konsuler ini diperkuat dengan Personalia Militer Amerika Serikat
dan Perancis sebagai peninjau militer. Dalam laporannya kepada Dewan Keamanan,
Komisi Konsuler menyatakan bahwa tanggal 30 Juli 1947 sampai 4 Agustus 1947
pasukan Belanda masih mengadakan gerakan militer. Pemerintah Indonesia menolak
garis demarkasi yang dituntut oleh pihak Belanda berdasarkan kemajuan
pasukan-pasukannya setelah perintah genjatan senjata. Namun penghentian
tembak-menembak tidak dimusyawarahkan dan belum ditemukan tindakan yang praktis
untuk menyelesaikan masalah pengertian tembak-menembak untuk mengurangi jumlah
korban yang berjatuhan.
Dewan Keamanan yang memperdebatkan masalah Indonesia akbirnya menyetujui
usul Amerika Serikat, bahwa untuk mengawasi penghentian permusuhan harus
dibentuk sebuah komisi jasa-jasa baik. Indonesia dan Belanda diberi kesempatan
untuk memilih satu negara sebagai wakil untuk menjadi anggota komisi.
Pemerintah Indonesia lalu memilih Australia, Belanda memilih Belgia, dan kedua
negara yang terpilih itu memilih Amerika Serikat sebagai penengah. Australia
diwakili oleh Richard Kirby, Belgia oleh Paul van Zeeland, Amerika Serikat oleh
Dr. Frank Graham. Komisi PBB ini dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN).
Dalam masalah militer KTN mengambil misiatif, tetapi dalam masalah politik KTN
hanya memberikan saran serta usulan dan tidak mempunyai hak untuk memutuskan
masalah politik. KTN mulai bekerja di Indonesia pada bulan Oktober 1947.
Setelah KTN mengadakan pendekatan dngan kedua pemerintahan,
akhirnya disepakati untuk kembali ke meja perundingan. Belanda mengajukan
Jakarta sebagai tempat perundingan, tetapi ditolak oleh pihak Republik
Indonesia karena menganggap di Jakarta tidak ada kebebasan untuk menyatakan
pendapat dan tidak ada jawatan Republik Indonesia yang aktif akibat aksi
militer Belanda itu. Republik Indonesia menginginkan agar perundingan itu
diadakan pada suatu tempat di luar daerah pendudukan Belanda. Dengan adanya
perbedaan pendapat ini, maka KTN mengambil jalan tengah dan mengusulkan agar
kedua belah pihalc menerima tempat perundingan di atas sebuah kapal Amerika
Serikat yang disediakan atas perantara KTN. Tetapi sebelum itu sudah dibentuk
komisi untuk melaksanakan gencatan senjata yang disebut Komisi Teknis yang
dipimpin Menteri Kesehatan dr. Leimena dan beranggotakan Mr. Abdul Majid,
Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo, Mayor Jenderal Didi Kartasasinita, Kolonel
Simbolon, dan Letnan Kolonel Bustoini. Komisi Teknis pihak Belanda dipimpin
oleh Van Vredenburg, Kolonel Drost, Mr. Zulkarnaen, Letnan Kolonel Surio
Santoso, Dr. Stuyt, dan Dr. PJ. Koets. Diputuskan bahwa usul mengenai daerah
bebas iniliter yang dianggap kurang praktis dan Belanda menuntut
dipertahankannya garis Van Mook, yakni suatu garis yang dihubungkan pucuk-pucuk
pasukan Belanda yang dimajukan sesudah keluarnya perintah Dewan Keamanan untuk
menghentikan tembak-menembak. Kemudian mereka mengeluarkan pernyataan dan
tempat perundingan di Kaliurang, yang isinya adalah sebagai berikut
1. Dilarang
melakukan sabotase
2. Dilarang
melakukan intiinidasi.
3. Dilarang
melakukan pembalasan dendam.
Setelah Kabinet Syahrir III jatuh, Presiden Soekarno mengangkat Ainir
Syanfuddin untuk menyusun kabinet baru dan membentuk delegasi untuk menghadapi
perundingan dengan Belanda. Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Mr. Ainir
Syarifuddin dengan Au Sastrosinidjojo sebagai wakil ketua dan
anggota-anggotanya dr. Tjoa Siek len, Sutan Syahrir, H. Agus Salim, Mr. Nasrun,
dan dua anggota cadangan, masing-masing Jr. Djuanda dan Setiadjid, serta 32
orang penasihat. Delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdul Kadir Widjojoatmodjo
dengan Mr. H.A.L. Van Vredenburg sebagai wakil ketua, dan anggota-anggota Dr.
P.J. Koets, Mr.Ch.R. Soumokil, Tengku Zulkarnaen, Mr. Adjie Pangaran
Kartanegara, Mr. Masjarie, Thio Thian Tjiong, Mr. A.H. Ophuyzen, A.Th. Band
sebagai sekretaris.
Perundingan diselenggarakan di atas kapal angkutan pasukan milik
Angkatan Laut Amerika Serikat, LJSS Renville. Perundingan tersebut dibuka 8
Desember 1947 di bawah pimpinan Herremans, wakil Belgia di KTN. Sementara itu
perundingan Komisi Teknis mengalami jalan buntu. Hal ini disebabkan karena
Belanda menolak saran KTN untuk melaksanakan keputusan Dewan Keamanan PBB.
Pihak Belanda tidak mau merundingkan soal-soal politik selama masalah gencatan
senjata belum beres. Karena macetnya perundingan itu, maka pemerintah Indonesia
mengeluarkan ketrangan mengenai sebab-sebab kemacetan tersebut dan kenyataan
bahwa pihak Belanda hanya menyetujui hal-hal yang menguntungkan dirinya.
Kecepatan gerakan pasukan Belanda menunjukkan bahwa mereka ingin menduduki
daerah seluas mungkin dengan dalih mengadakan operasi pembersihan berdasarkan
kedudukan mereka yang terdepan. Namun situasi pada tanggal 4 Agustus 1947
menunjukkan bahwa pihak Belanda hanya menduduki kota-kota saja, sedangkan di
luar kota Pemerintah Republik Indonesia dan TNT tetap utul4 dan aktif. Garis
depan Republik Indonesia ada di mana-mana, di kantongk antong di belakang
kedudukan Belanda yang terdepan.
Untuk mengatasi kemacetan perundingan ini KTN mengajukan usul baru,
supaya masing-masing pihak berunding dulu dengan KTN. Kedua belah pihak setuju
dan diadakan perundingan pendahuluan dengan KTN. Dan hasil perundingan itu KTN
menyimpulkan bahwa Persetujuan Linggarjati dapat dijadikan dasar perundingan
selanjutnya. Namun ada kesulitan mengenai gencatan senjata, karena Belanda
tetap menekankan tuntutannya pada garis depan demarkasi Van Mook. Karena pihak
Republik Indonesia menolak, wakil Australia mengusulkan diadakannya daerah
deiniliterisasi yang diawasi oleh polisi. Pasukan masing-masing diundurkan
sejauh 10 Km. Kemudian KTN mengajukan usul politik yang didasarkan Persetujuan
Linggarjati, yaitu:
1. Kemerdekaan
bagi bangsa Indonesia.
2. Kerja
sama Indonesia – Belanda.
3. Suatu
negara yang berdaulat atas dasar federasi.
4. Uni
antara Indonesia Serikat dan bagian lain Kerajaan Belanda.
Sebagai balasan usul KTN, pihak Belanda mengajukan 12 prinsip politik
untuk disampaikan kepada pihak Indonesia. Prinsip Belanda itu adalah pengurangan
pasukan dan penghidupan kegiatan ekonomi. Tetapi dalam usul tersebut tidak
disebutkan masalah penarikan tentara Belanda. Belanda menyatakan bahwa hal itu
merupakan usaha yang terakhir, dan apabila ditolak, Belanda tidak dapat lagi
melanjutkan perundingan dan Republik Indonesia diberi waktu 48 jam untuk
menjawabnya.
KTN menyadari bahwa sikap keras kepala pihak Belanda akan mengakibatkan
situasi yang sangat berbahaya. Untuk mengatasi hal itu r. Graham mengajukan 6
prinsip tambahan untuk mencapai penyelesaian politik. Prinsip-prinsip itu
disampaikan oleh KTN. Kepada mereka, dan Pemerintah Republik Indonesia mendapat
jaminan KTN bahwa kekuasaan Republik Indonesia tidak akan berkurang selama masa
peralihan sampai diserahkannya kedaulatan Belanda kepada negara Federal
Indonesia. Republik Indonesia mau menerima prinsip-prinsip KTN, karena pada
bagian ke-4 dan ke-6 dan keenam prinsip itu menyatakan bahwa antara 6 bulan dan
1 tahun sesudah ditandatanganinya persetujuan politik akan diadakan plebisit di
seluruh Indonesia di bawah pengawasan KTN, untuk menentukan apakah mereka
berhasrat bergabung dengan Republik Indonesia atau tidak. Pihak Belanda juga
berjanji akan menerima prinsip yang diajukan oleh KIN apabila pihak Republik
Indonesia menyetujui sampai batas waktu 9 Januari 1948. Akhirnya pada tanggal
17 Januani 1948 kedua belah pihak bertemu kembali di atas kapal ISS Renville
untuk menandatangani persetujuan gencatan senjata dan prinsip-prinsip politik
yang telah disetujui bersama dengan disaksikan KTN.
c. Perundingan
Roem-Royen
Perjanjian Roem-Roijen adalah
sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang
dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan
akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di
Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin
delegasi, Mohammad Roem danHerman van
Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai
kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada
tahun yang sama. Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Bung
Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari
Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap Pemerintahan
Republik Indonesia di Yogyakarta, di mana Sultan Hamengku Buwono IX mengatakan
“Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).
Hasil pertemuan ini adalah:
·Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan
semua aktivitas gerilya
·
Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua
operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang
·
Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri
Konferensi Meja Bundar
Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali
dari pengasingan ke Yogyakarta, ibu
kota sementara Republik Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet
Hatta mengesahkan perjanjian Roem-van Roijen dan Sjafruddin Prawiranegara yang
menjabat presiden Pemerintahan DaruratRepublik Indonesia(PDRI)
dari tanggal 22 Desember 1948 menyerahkan
kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi mengakhiri keberadaan PDRI
pada tanggal 13 Juli 1949.
Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia
dimulai di Jawa (11 Agustus)
dan Sumatra (15
Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai
persetujuan tentang semua masalah dalam agenda pertemuan, kecuali masalah Papua Belanda.
d.Koferensi
Inter-Indonesia
Konferensi
Inter Indonesia adalah konferensi yang berlangsung antara Negara Indonesia
dengan Negara-negara boneka/Negara bentukan Belanda yang tergabung dalam BFO
(Bijenkomst Voor Federal Overslag). Awalnya BFO diharapkan oleh Belanda untuk
mempermudah mengusai Indonesia kembali. Namun sikap Negara- Negara dalam BFO
berubah setelah Belanda melancarkan agresi militernya kepada Indonesia untuk
yang kedua kalinya. Karena simpati dari Negara-negara BFO membebaskan
pemimpin-pemimpin Indonesia, BFO juga turut berjasa atas terselenggaranya
Konferensi Inter Indonesia. Hal itu lah yang melatarbelakangi Konferensi Inter
Indoneisa di Yogyakarta pada tanggal 19-22 Juli 1949.Konferensi Inter Indonesia
banyak membahas konsep dan teknis pembentukan RIS. Konferensi Inter-Indonesia
juga digunakan sebagai konsolidasi internal menjelang digelarnya Konferensi
Meja Bundar yang dimulai pada 23 Agustus 1949. Hasil kesepakatan dari
Konferensi Inter-Indonesia adalah:
1. Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama
Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan demokrasi dan federalisme
(serikat).
2. RIS akan dikepalai oleh seorang Presiden dibantu
oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada Presiden.
3. RIS akan menerima penyerahan kedaulatan, baik dari
Republik Indonesia maupun dari kerajaan Belanda.
4. Angkatan perang RIS adalah angkatan perang
nasional, dan Presiden RIS adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang RIS.
5. Pembentukkan angkatan Perang RIS adalah semata-mata
soal bangsa Indonesia sendiri.
Angkatan
Perang RIS akan dibentuk oleh Pemerintah RIS dengan inti dari TNI dan KNIL
serta kesatuan-kesatuan Belanda lainnya. Lalu sidang kedua konferensi
inter-indonesia diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli dan
menghasilkan keputusan:
1. Bendera RIS adalah Sang Merah Putih
2.
Lagu
kebangsaan Indonesia Raya
3.
Bahasa
resmi RIS adalah Bahsa Indonesia
4. Presiden RIS dipilih wakil RI dan BFO.
Dampak
dari Konferensi Inter-Indonesia adalah adanya konsensus yang dibangun melalui
Konferensi Intern-Indonesia yang menjadi modal berharga bagi pemerintah RI,
terutama delegasi Indonesia yan dtunjuk untuk berunding dengan Belanda pada
Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.Nilai yang bisa diambil dari peristiwa
Konferensi Inter Indonesia adalah bahwa persahabatan dan hubungan antar Negara
sangat penting bagi Indonesia dalam berbagai bidang, sehingga kita harus
memelihara hubungan antar Negara dengan baik.
e. Koferensi
Meja Bundar ( KMB )
Konferensi Meja Bundar (KMB)
(bahasa Belanda: Nederlands-Indonesische rondetafelconferentie) adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan
di Den Haag,
Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 antara
perwakilan Republik
Indonesia, Belanda,
dan BFO (Bijeenkomst
voor Federaal Overleg), yang
mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia.[1]Sebelum
konferensi ini, berlangsung tiga pertemuan tingkat tinggi antara Belanda dan
Indonesia, yaitu Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948),
dan Perjanjian Roem-Royen (1949). Konferensi ini berakhir dengan kesediaan Belanda untuk
menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasanberakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia
internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan
untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati dan perjanjian Renville.
Pada 28 Januari 1949,Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa meloloskan
resolusi yang mengecam serangan militer Belanda terhadap tentara Republik di Indonesia dan menuntut dipulihkannya
pemerintah Republik. Diserukan pula kelanjutan perundingan untuk menemukan
penyelesaian damai antara dua pihak.
Pemerintah Indonesia, yang telah diasingkan selama
enam bulan, kembali ke ibu kota sementara di Yogyakarta pada
6 Juli 1949. Demi memastikan kesamaan posisi perundingan antara delegasi
Republik dan federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak 31 Juli–2 Agustus, Konferensi
Inter-Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta antara
semua otoritas bagian dari Republik
Indonesia Serikat yang akan
dibentuk. Para partisipan setuju mengenai prinsip dan kerangka dasar untuk
konstitusinya.[4] Menyusul
diskusi pendahuluan yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta,
ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar di Den Haag.
Perundingan menghasilkan sejumlah dokumen, di
antaranya Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan, kesepakatan ekonomi serta
kesepakatan terkait urusan sosial dan militer.[5] Mereka
juga menyepakati penarikan mundur tentara
Belanda "dalam waktu
sesingkat-singkatnya", serta Republik Indonesia Serikat memberikan
status bangsa paling disukai kepada Belanda. Selain itu, tidak
akan ada diskriminasi terhadap warga negara dan perusahaan Belanda, serta
Republik bersedia mengambil alih kesepakatan dagang yang sebelumnya
dirundingkan oleh Hindia Belanda.[6] Akan
tetapi, ada perdebatan dalam hal utang pemerintah kolonial Belanda dan
status Papua Barat.
Perundingan mengenai utang luar negeri pemerintah
kolonial Hindia Belanda berlangsung berkepanjangan, dengan masing-masing pihak
menyampaikan perhitungan mereka dan berpendapat mengenai apakah Indonesia
Serikat mesti menanggung utang yang dibuat oleh Belanda setelah mereka menyerah
kepada Jepang pada 1942.
Delegasi Indonesia terutama merasa marah karena harus membayar biaya yang
menurut mereka digunakan oleh Belanda dalam tindakan militer terhadap
Indonesia. Pada akhirnya, berkat intervensi anggota AS dalam komisi PBB untuk
Indonesia, pihak Indonesia menyadari bahwa kesediaan membayar sebagian utang
Belanda adalah harga yang harus dibayar demi memperoleh kedaulatan. Pada 24
Oktober, delegasi Indonesia setuju untuk menanggung sekitar 4,3 miliar gulden utang
pemerintah Hindia Belanda.
Permasalahan mengenai Papua Barat juga
hampir menyebabkan pembicaraan menjadi buntu. Delegasi Indonesia berpendapat
bahwa Indonesia harus meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Di pihak lain,
Belanda menolak karena mengklaim bahwa Papua Barat tidak memiliki ikatan etnik
dengan wilayah Indonesia lainnya.Meskipun opini publik Belanda yang mendukung
penyerahan Papua Barat kepada Indonesia, kabinet Belanda khawatir tidak akan
dapat meratifikasi Perjanjian Meja Bundar jika poin ini disepakati.Pada
akhirnya, pada awal 1 November 1949 suatu kesepakatan diperoleh, status Papua
Barat akan ditentukan melalui perundingan antara Indonesia Serikat dengan
Belanda dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan.
Konferensi secara resmi ditutup di gedung parlemen Belanda pada 2 November 1949. Isi perjanjian
konferensi adalah sebagai berikut:
1. Keradjaan
Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik
Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan
karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan
berdaulat.
2. Republik
Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada
Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan
Nederland.
3. Kedaulatan
akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949
Parlemen Belanda memperdebatkan kesepakatan tersebut,
dan Majelis Tinggi dan Rendah meratifikasinya
pada tanggal 21 Desember oleh mayoritas dua pertiga yang dibutuhkan. Terlepas
dari kritik khususnya mengenai asumsi utang pemerintah Belanda dan status Papua
Barat yang belum terselesaikan, legislatif Indonesia, Komite
Nasional Indonesia Pusat(KNIP),
meratifikasi kesepakatan tersebut pada tanggal 14 Desember 1949. Kedaulatan
dipindahkan kepada Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Tanggal27 Desember 1949, pemerintahan
sementara negara dilantik.Soekarnomenjadi presiden dengan Hatta sebagai Perdana Menteri, yang membentuk Kabinet
Republik Indonesia Serikat. Indonesia
Serikat dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16
negara bagian dan merupakan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.
Tanggal penyerahan kedaulatan oleh Belanda ini juga
merupakan tanggal yang diakui oleh Belanda sebagai tanggal kemerdekaan
Indonesia. Barulah sekitar enam puluh
tahun kemudian, tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Belanda secara resmi
mengakui bahwa kemerdekaan de facto Indonesia
bermula pada 17 Agustus 1945. Dalam sebuah konferensi di Jakarta, Perdana
Menteri Belanda Ben Bot mengungkapkan "penyesalan
sedalam-dalamnya atas semua penderitaan" yang dialami rakyat Indonesia
selama empat tahun Revolusi Nasional, meski ia tidak secara resmi menyampaikan
permohonan maaf. Reaksi Indonesia kepada posisi Belanda umumnya positif; Menteri
Luar Negeri IndonesiaHassan Wirayuda mengatakan bahwa, setelah pengakuan ini, "akan lebih mudah
untuk maju dan memperkuat hubungan bilateral antara dua negara".
Terkait utang Hindia Belanda, Indonesia membayar
sebanyak kira-kira 4 miliar gulden dalam kurun waktu 1950-1956 namun kemudian
memutuskan untuk tidak membayar sisanya.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Setelah Indonesia merdeka, bangsa
Indonesia masih banyak menghadapi tantangan dan hambatan seperti kedatangan
tentara sekutu dan NICA. Tentara sekutu yang mendapat tugas masuk ke Indonesia
adalah AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) yang bertugas menangani
Indonesia bagian barat. Awalnya kedatangan mereka disambut baik oleh rakyat
Indonesia. Namun, setelah sekian lama mereka pun menunjukkan sisi yang tidak
menghormati kedaulatan bangsa Indonesia dan mereka banyak menimbulkan insiden
di berbagai daerah.
Berbagai banyak konflik yang disebabkan
oleh datangnya sekutu. Terdiri dari pertempuran di Surabaya yang dimulai dari
mendaratnya pasukan AFNEI pada 25 Oktober 1945, pertempuran antara Ambarawa dan
Magelang yang berlangsung pada tanggal 20 November 1945 sampai 15 Desember
1945, dan peristiwa Bandung Lautan Api yaitu pembumihangusan kota Bandung
bagian selatan agar kota tersebut tidak diambil oleh pasukan sekutu.
Setelah terjadi banyak konflik di
berbagai daerah, para pemerintah Indonesia banyak menyelesaikan
perundingan-perundingan dengan pihak sekutu. Perundingan awal Indonesia antara
pihak sekutu setelah berbagai konflik di berbagai daerah yaitu Perjanjian
Linggarjati pada tanggal 10 November 1946, kemudian Agresi Militer Belanda yang
diteruskan ke Perjanjian Renville di kapal USS Renville, Perundingan Roem-Royen
yang dipimpin oleh Roem dan Royen, Konferensi Inter-Indonesia yang membahas
tentang pembentukan RIS, dan ada Konferensi Meja Bundar yang setelah itu
Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai negara merdeka, dan
banyak lagi hasil yang dicapai pada KMB tersebut.
3.2
Saran
Perjuangan bangsa Indonesia dalam
meraih kemerdekaan mempunyai banyak tantangan dan hambatan. Para musuh
bergantian menjajah bangsa Indonesia yang melimpah ruah kekayaannya. Para
pejuang dan pahlawan mati-matian untuk berjuang dalam mempertahankan
memerdekakan bangsa Indonesia. Dan setelah merdekan pun, Indonesia dihadapi
oleh banyaknya rintangan lagi. Oleh sebab itu, sebagai murid yang telah
merasakan kemerdekaan di tanah nusantara ini, harus menghargai para jasa
pahlawan yang telah memperjuangkan bangsa Indonesia. Dengan mempelajari materi
ini, dituntut untuk tau bagaimana susahnya para pahlawan berjuang melawan
penjajah selama bertahun-tahun lamanya.
DAFTAR PUSTAKA
9fpgsajadeh. (2016). Konferensi Inter Indonesia. [ online ]. Tersedia
: https://9fpgsajadeh.wordpress.com/2016/02/23/konferensi-inter-indonesia/.
Diakses tanggal 27 Agustus
2019
Donisaurus. (2016). Kedatangan Sekutu dan NICA di Indonesia.
[ online ]. Tersedia : http://www.donisetyawan.com/kedatangan-sekutu-dan-nica-di-indonesia/.
Diakses tanggal 27 Agustus
2019
Tugas Sekolah. (2017). Agresi Militer Belanda I dan Perjanjian
Renvile. [ online ]. Tersedia : https://tugassekolah.co.id/2017/11/agresi-militer-belanda-i-dan-perjanjian.html.
Diakses tanngal 29 Agustus
2019
Wikipeda. (2019). Perundingan Linggarjati. [ online ].
Tersedia : https://id.wikipedia.org/wiki/Perundingan_Linggarjati. Diakses tanggal 27 Agustus 2019
Wikipedia. (2019). Bandung Lautan Api. [ online ] Tersedia :
https://id.wikipedia.org/wiki/Bandung_Lautan_Api. Diakses tanggal 27 Agustus 2019
Wikipedia. (2019). Konferensi Meja Bundar. [ online ]
Tersedia : https://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_Meja_Bundar. Diakses tanggal 27 Agustus 2019
Wikipedia. (2019). Palagan
Ambarawa. [ online ] Tersedia : https://id.wikipedia.org/wiki/Palagan_Ambarawa.
Diakses tanggal 27 Agustus
2019
Wikipedia. (2019). Perjanjian Roem-Roijen. [ online ]
Tersedia : https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Roem-Roijen. Diakses tanggal 27 Agustus 2019
Wikipedia. (2019). Pertempuran di Surabaya. [ online ]
Tersedia : https://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Surabaya. Diakses tanggal 27 Agustus 2019