PERKEMBANGAN
PERS PADA MASA ORDE LAMA
(5
Juli 1959 – 11 Maret 1966)
Upaya
untuk pembatasan kebebasan pers tecermin dari pidato Menteri Muda Penerangan RI
yaitu Maladi yang menyatakan hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak
kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat.
Hak
berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang
dijamin UUD 1945 harus ada batasnya yaitu keamanan negara, kepentingan bangsa,
moral dan kepribadian Indonesia, serta
tanggung jawab kepada Tuhan YME.
Dalam
konstitusi RIS pasal 19 disebutkan
setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat.
Pemerintah
juga menetapkan kebijakan dibidang pers yang sifatnya positif. Pemerintah membentuk
dewan pers yang terdiri dari orang-orang persurat kabaran, cendekiawan, serta
pejabat-pejabat pemerintah. Adapun dewan ini mempunyai tugas yaitu
1. Pengertian
undan-undang pers colonial
2. pemberian
dasar social ekonomis yang lebih kuat pada pers Indonesia.
3. Peningkatan
mutu jurnalisme Indonesia
Pers
tunduk sepenuhnya pada peraturan pemerintah, pers dimanfaatkan sebagai alat
revolusi dan penggerak massa. Hal yang menonjol adalah,
1. Peraturan
No.3 tahun 1960 tentang larangan terbit surat kabar berbahasa Cina.
2. Peraturan
No.19 tahun 1961 tentang keharusan adanya surat izin terbit bagi surat kabar
3. Peraturan
No.2 tahun 1961 tentang pembinaan pers oleh pemerintah yang tidak loyal akan
dibreidel.
4. UU
No.4 tahun 1963 tentang wewenang jaksa agung mengenai pers.
Era demokrasi terpimpin diawali
Dekrit Presiden tahun 1959-1966. Keberadaan pers diatur dalam Tap MPRS No. 11
tahun 1960 tentang Penerangan Massa dan melalui Peraturan Penguasa Perang
Tertinggi No. 10/ 1960. Dalam kedua aturan tersebut diatur antara lain:
1. SIT (Surat Izin Terbit) berlaku,
2. Pers berbahasa etnik seperti Cina dilarang,
3. Isi berita harus sesuai doktrin MANIPOL-USDEK.
Pada
masa demokrasi terpimpin di bawah Presiden Soekarno, pers sangat dibatasi ruang
geraknya, kebebasan pers tidak ada. Dalam ulang tahun PWI ke-19, Presiden Soekarno
menegaskan “dalam suatu revolusi, tidak boleh ada kebebasan pers. Koran yang
beritanya tidak sesuai dengan kebijakan pemerintahan ditutup".
Tepatnya
paa tanggal 12 Oktober 1960 diterbitkan sebuah pedoman resmi untuk penerbit
surat kabar dan majalah. Adapun pedoman- pedoman tersebut sebagai berikut :
1. Surat
kabar dan majalah wajib menjadi alat penyebaran manifesto politik yang telah
menjadi haluan negara untuk memberantas kolonialisme, liberalism dan
federalisme,
2. Surat
kabar dan majalah wajib menjadi pendukung dan membela manifesto politik yang
telah menjadi haluan negara dalam pemerintah
3. Surat
kabar dan majalah wajib menjadi pembela dan alat pelaksana politik bebas dan
aktif serta tidak menjadi pembela atau alat dari perang dingin antar blok
4. Surat
kabar dan majalh wajib memupuk kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap dasar,
tujuan program, dan pimpinan revolusi Indonesia
5. Surat
kabar dan majalah wajib membantu usaha penyelenggaraan ketertiban dan keamanan
umum serta ketenangan politik
6. Surat
kabar dan majalah wajib mempertebal rasa kesadaran kepribadian Indonesia
7. Surat
kabar dan majalah dalam menulis kritik harus bersifat konstruktif dan
berpedoman manifesto politik.
Banyak
institusi pers yang memilih tutup, seperti Harian Abadi yang antikomunis. Jumlah surat kabar hanya sekitar 60 buah.
Jurnalis yang melawan ditahan seperti Mochtar Lbis, redaktur Indonesia Raya
tahun 1956-1961. Kantor berita Antara, Organisasi PWI dan SPS “dikuasai”
komunis.
Aktivis
pers seperti BM. Diah, Adam Malik, Wonohito mencetuskan Manifesto Kebudayaan
dan Badan Pendukung Soekarnoisme yang anti-PKI, yang kemudian ditutup oleh
Soekarno.
No comments:
Post a Comment