Saturday, 10 March 2018

PERKEMBANGAN PERS PADA MASA ORDE LAMA (5 Juli 1959 – 11 Maret 1966)


PERKEMBANGAN PERS PADA MASA ORDE LAMA
(5 Juli 1959 – 11 Maret 1966)
Upaya untuk pembatasan kebebasan pers tecermin dari pidato Menteri Muda Penerangan RI yaitu Maladi yang menyatakan hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat.
Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang dijamin UUD 1945 harus ada batasnya yaitu keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia,  serta tanggung jawab kepada Tuhan YME.
Dalam konstitusi RIS pasal 19 disebutkan setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat.
Pemerintah juga menetapkan kebijakan dibidang pers yang sifatnya positif. Pemerintah membentuk dewan pers yang terdiri dari orang-orang persurat kabaran, cendekiawan, serta pejabat-pejabat pemerintah. Adapun dewan ini mempunyai tugas yaitu
1.  Pengertian undan-undang pers colonial
2.  pemberian dasar social ekonomis yang lebih kuat pada pers Indonesia.
3.  Peningkatan mutu jurnalisme Indonesia
Pers tunduk sepenuhnya pada peraturan pemerintah, pers dimanfaatkan sebagai alat revolusi dan penggerak massa. Hal yang menonjol adalah,
1.  Peraturan No.3 tahun 1960 tentang larangan terbit surat kabar berbahasa Cina.
2.  Peraturan No.19 tahun 1961 tentang keharusan adanya surat izin terbit bagi surat kabar
3.  Peraturan No.2 tahun 1961 tentang pembinaan pers oleh pemerintah yang tidak loyal akan dibreidel.
4.  UU No.4 tahun 1963 tentang wewenang jaksa agung mengenai pers.
            Era demokrasi terpimpin diawali Dekrit Presiden tahun 1959-1966. Keberadaan pers diatur dalam Tap MPRS No. 11 tahun 1960 tentang Penerangan Massa dan melalui Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No. 10/ 1960. Dalam kedua aturan tersebut diatur antara lain:
1.  SIT (Surat Izin Terbit) berlaku,
2.  Pers berbahasa etnik seperti Cina dilarang,
3.  Isi berita harus sesuai doktrin MANIPOL-USDEK.
Pada masa demokrasi terpimpin di bawah Presiden Soekarno, pers sangat dibatasi ruang geraknya, kebebasan pers tidak ada. Dalam ulang tahun PWI ke-19, Presiden Soekarno menegaskan “dalam suatu revolusi, tidak boleh ada kebebasan pers. Koran yang beritanya tidak sesuai dengan kebijakan pemerintahan ditutup".
Tepatnya paa tanggal 12 Oktober 1960 diterbitkan sebuah pedoman resmi untuk penerbit surat kabar dan majalah. Adapun pedoman- pedoman tersebut sebagai berikut :
1.    Surat kabar dan majalah wajib menjadi alat penyebaran manifesto politik yang telah menjadi haluan negara untuk memberantas kolonialisme, liberalism dan federalisme,
2.    Surat kabar dan majalah wajib menjadi pendukung dan membela manifesto politik yang telah menjadi haluan negara dalam pemerintah
3.    Surat kabar dan majalah wajib menjadi pembela dan alat pelaksana politik bebas dan aktif serta tidak menjadi pembela atau alat dari perang dingin antar blok
4.    Surat kabar dan majalh wajib memupuk kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap dasar, tujuan program, dan pimpinan revolusi Indonesia
5.    Surat kabar dan majalah wajib membantu usaha penyelenggaraan ketertiban dan keamanan umum serta ketenangan politik
6.    Surat kabar dan majalah wajib mempertebal rasa kesadaran kepribadian Indonesia
7.    Surat kabar dan majalah dalam menulis kritik harus bersifat konstruktif dan berpedoman manifesto politik.
Banyak institusi pers yang memilih tutup, seperti Harian Abadi yang antikomunis.  Jumlah surat kabar hanya sekitar 60 buah. Jurnalis yang melawan ditahan seperti Mochtar Lbis, redaktur Indonesia Raya tahun 1956-1961. Kantor berita Antara, Organisasi PWI dan SPS “dikuasai” komunis.
Aktivis pers seperti BM. Diah, Adam Malik, Wonohito mencetuskan Manifesto Kebudayaan dan Badan Pendukung Soekarnoisme yang anti-PKI, yang kemudian ditutup oleh Soekarno.


No comments:

Post a Comment